Anak Kampung yang Menatap Pabrik PT BMS dari Balik Pagar

Berita, Daerah567 Dilihat

Jpgluwu.com, LUWU – Seorang pemuda duduk diam di halaman belakang rumah. Matanya menerawang jauh menatap langit sore yang mulai meredup. Dialah Iwan, pemuda yang lahir dan besar di tanah yang sama tempat ayah, ibu, dan neneknya dilahirkan, Bua, kampung yang kini menjadi saksi sunyi perjuangan hidupnya.

Di rumah itu, Iwan hidup bersama dua saudara perempuannya dan sang nenek yang sudah mulai lanjut usia. Orang tuanya telah lama pergi. Sejak itu, neneklah yang menggantikan segalanya. Ia menjadi ibu, ayah, dan pelindung bagi tiga cucunya.

“Merekalah yang merawatku. Jadi apa pun yang bisa saya lakukan, saya lakukan untuk mereka,” ucap Iwan dengan suara pelan.

Setiap pagi, sang nenek menuju ke pasar Bua, untuk berjualan. Hasil jualannya tak banyak, kadang hanya cukup untuk makan sehari. Tapi di balik tangan tuanya yang kasar, ada ketulusan yang tidak pernah pudar.

“Dari dulu saya jualan di pasar, sedikit-sedikit. Yang penting cucu-cucu bisa makan dan sekolah,” tutur sang nenek, tersenyum kecil walau matanya menyiratkan lelah.

Dengan penghasilan pas-pasan, dan juga kadang dapat bantuan dari keluarga terdekat, ia berhasil menyekolahkan cucu sulungnya hingga sarjana. Bulan lalu, kakak Iwan resmi diwisuda dari salah satu kampus di Palopo, hadiah terbesar dalam hidup sang nenek. Sementara adik bungsu Iwan masih duduk di bangku SMP.

Namun di antara semua kebanggaan itu, ada satu nama yang memikul beban paling berat, Iwan.

Iwan adalah lulusan SMAN Bua. Ia sebenarnya punya keinginan melanjutkan kuliah, tapi kehidupan tak memberinya kesempatan. Ia memilih menahan mimpi karena kondisi perekonomian tak memungkinkan.

“Saya laki-laki satu-satunya. Kalau saya juga kuliah, siapa yang bantu nenek di rumah?” ujarnya lirih.

Usai lulus, Iwan bekerja di sebuah toko di Palopo. Setiap hari ia menempuh perjalanan jauh demi bisa membantu menambah penghasilan keluarga. Gajinya tak besar, tapi cukup untuk menambal kebutuhan harian.

Namun, beberapa bulan kemudian, ia berhenti bekerja. Bukan karena lelah, tapi karena mendengar kabar yang membuatnya berharap lebih. PT BMS (Bumi Mineral Sulawesi), perusahaan pabrik nikel milik Kalla Group yang beroperasi di Bua, membuka lowongan kerja baru.

Bagi Iwan, kabar itu seperti cahaya di tengah kabut. Pengumuman resmi PT BMS menyebutkan bahwa perusahaan itu mengutamakan warga lokal dan membuka peluang bagi lulusan SMA. Itu artinya, ia punya kesempatan.

“Saya tidak pilih-pilih kerja, mau di bagian mana saja. Asal bisa kerja, asal bisa bantu nenek,” kata Iwan penuh semangat.

Ia bahkan mengajak kakaknya yang baru wisuda untuk ikut melamar. Mereka berdua mengurus berkas dari pagi hingga sore, bolak-balik Bua–Belopa selama beberapa hari.

Biaya itu mereka kumpulkan dari keluarga. Semua berharap besar.
“Kalau bukan dua-duanya diterima, semoga salah satunya saja cukup. Yang penting ada yang bisa bantu nenek,” kata sang kakak waktu itu.

Hari pengumuman tiba. Di lembar pengumuman PT BMS, ratusan nama tercetak rapi. Iwan menelusuri satu per satu pelan, teliti, penuh harap. Tapi nama “Iwan” tak ada. Begitu pula nama kakaknya.

“Saya cari sampai ke baris terakhir. Tidak ada. Rasanya perut saya kosong, kaki lemas, mulut tidak bisa bicara,” ucapnya pelan, menatap kosong ke depan.

Ia pulang dengan langkah berat. Sepanjang jalan, pikirannya kacau. Di rumah, ia hanya diam sambil baring di kamarnya yang hening, menatap langit-langit rumah. Air matanya jatuh tanpa suara membasahi bantal tidurnya yang mulai usang.

“Saya merasa tidak berguna. Seolah harapan saya sudah hilang,” katanya, menahan tangis.

Beberapa hari setelahnya, kabar yang beredar di masyarakat maupun di media-media online membuat dada Iwan makin sesak. Banyak yang diterima adalah orang luar daerah, bahkan dari luar Kabupaten. Sebagian besar, katanya, “punya kenalan di dalam.”

“Saya sempat berpikir, mungkin saya tidak diterima karena tidak ada yang kenal di sana. Tidak punya siapa-siapa untuk bantu masuk. Tapi ya, apa boleh buat… saya cuma bisa pasrah,” ucapnya lirih.

Bagi Iwan, itu bukan sekadar kekecewaan pribadi. Tapi luka bagi banyak pemuda Bua yang merasa asing di tanah sendiri. Mereka menyaksikan truk-truk perusahaan lalu-lalang di jalan kampung, tapi tak pernah bisa jadi bagian dari roda besar itu.

Kini, ratusan pemuda luar daerah bekerja di PT BMS, pabrik besar milik Kalla Group yang berdiri megah di Kecamatan Bua. Sementara pemuda-pemuda lokal seperti Iwan, hanya bisa menatap dari balik pagar tinggi.

BMS memang kerap menegaskan komitmen mengutamakan tenaga kerja lokal. Namun di lapangan, fakta tak seindah janji. Banyak warga Bua yang mengaku hanya menjadi penonton di tanah sendiri.

“Saya tidak marah, cuma sedih. Karena perusahaan besar itu berdiri di kampung kami, tapi anak-anak kampung malah menganggur,” ucap Iwan.

Melihat cucunya termenung, sang nenek hanya terdiam lama. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tak ingin menambah beban. Dengan langkah pelan, ia menghampiri Iwan, lalu menepuk bahunya dengan lembut.

“Nak, jangan patah hati. Rezeki orang itu sudah diatur Tuhan. Kadang kita pikir gagal, padahal Tuhan sedang siapkan yang lebih baik,” ucap sang nenek dengan suara bergetar.

Iwan menunduk. Air matanya menetes di punggung tangan neneknya.
“Saya tidak sedih karena tidak diterima, Nek. Saya sedih karena belum bisa bikin nenek berhenti jualan. Belum bisa gantiin peran nenek,” ujarnya lirih.

Sang nenek tersenyum, menatap cucunya penuh kasih.
“Nenek jualan bukan karena tidak ada yang bantu, Nak. Tapi karena nenek bahagia bisa lihat kalian berjuang. Asal kamu tidak berhenti, nenek sudah cukup senang,” katanya sambil menyeka air mata sendiri.

Kini, setiap pagi, Iwan masih terus mencari informasi tentang lowongan dan mencari peluang kerja baru.

“Saya akan coba lagi. Tidak apa-apa gagal, yang penting tetap usaha. Rezeki memang bisa tertunda, tapi tidak akan tertukar,” ucapnya dengan senyum yang mulai kembali.

Kisah Iwan bukan sekadar cerita seorang pemuda yang gagal diterima kerja. Ini adalah kisah tentang ketulusan, perjuangan, dan cinta yang tak pernah padam di tengah hidup yang keras.

Di sebuah kampung di Bua, seorang nenek masih berdagang dengan senyum sabar, dan seorang cucu masih menata harapan di antara tumpukan dagangan. Karena bagi mereka, meski dunia tak selalu adil, semangat untuk bertahan tetap tak boleh padam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *